Seharian ini aku tidak karuan bekerja, suntuk benar rasanya hari ini, seharian dimarahi melulu sama boss karena kerjaanku salah terus, “Teeet…” bel pulang sudah berbunyi, kesempatan ini tidak kusia-siakan, “langsung ngacir”. Sore itu cuaca masih mendung karena sebelumnya hujan mengguyur dengan sangat deras. Aku berjalan keluar halaman kantor, kulihat jalanan sebagian tergenang air.
Aku berdiri di trotoar jalan menunggu angkutan umum. Hari ini memang aku tidak naik motor karena motorku sedang ada di bengkel. Entah kenapa hari ini aku sial terus dari rumah pas mau kerja motorku mendadak ngadat tidak mau distater. Sial, mana hari ini aku pagi-pagi sekali harus sudah menyerahkan laporan bulanan kepada boss. Sial benar-benar sial.
Saat aku asik melamunkan kesialanku hari ini, tanpa sadar tiba-tiba sebuah Baleno warna silver metalik melintas di depanku dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba… “Craaassshh…!” air genangan menyemprot ke seluruh tubuhku, mukaku, baju, celanaku semuanya basah kuyup.
Shiit, sekali lagi shiit, lengkap sudah kesialanku hari ini. Aku memaki-maki tidak karuan. Tiba-tiba Baleno itu berhenti beberapa puluh meter dari tempat aku berdiri dan langsung mundur menuju ke arahku. “Cari penyakit,” gerutuku. Aku sudah bersiap-siap mau mendampratnya jika orangnya keluar, paling tidak kumaki-maki dulu.
Urusan maaf-memaafkan belakangan. Aku sudah bersiap-siap ketika pintu Baleno itu terbuka, aku terkejut ketika sebuah kaki indah terbungkus sepatu kets menapak di aspal yang basah. Sesaat kemudian munculah mahluk yang menurutku sangat cantik.
Tingginya kira-kira 165 cm, kulitnya putih, kalau ditaksir-taksir umurnya sekitar 35-an, tetapi penampilannya modis sehingga tidak terkesan dewasa, tapi yang paling menarik perhatianku adalah bentuk bodinya yang sangat proporsional, “Gitar Spanyol Cing”. Terbalut kaos ketat lengan cekak warna abu-abu dan legging warna hitam selutut menambah tonjolan-tonjolan tubuhnya semakin nampak nyata, sampai-sampai aku meneguk air liurku, “Glek.. glek,”.
“M.. ma’af Mas…” katanya menyadarkan aku dari kekagumanku.
“Oh oh… tidak pa.. pa..” sahutku (kok jadi aku yang gugup bathinku “).
“Maafkan saya Mas, saya tidak sengaja.. lagi ngelamun jadi tidak sadar kalo ada orang,” ujarnya menjelaskan.
“Mas mau pulang..? tambahnya lagi.
“Ii.. iya…” jawabku.
“Oke.. sebagai pernyataan maaf saya, gimana kalo mas saya antar pulang. Ayo mari masuk Mas!” pintanya tanpa menunggu persetujuanku.
Wah kesempatan yang tidak boleh kusia-siakan nih.
“Bagaimana ya…” kataku.
“Please… ” katanya.
Tanpa ba bi bu lagi aku langsung masuk ke Balenonya yang langsung meluncur.
“Ngomong-ngomong dari tadi kita belum kenalan, saya.. Conny,” katanya memecah kekakuan.
“Saya Irwan, Mbak,” timpalku.
Ternyata Mbak Conny enak diajak ngomong tentang apa saja, orangnya supel. Dan sampai aku juga tahu bahwa ia adalah istri kedua dari salah seorang pengusaha sukses yang meninggal karena kecelakaan mobil setengah tahun lalu. Menurut dia suaminya dibunuh karena persaingan dengan seteru bisnisnya.
“Maaf Mbak, kalau saya mengingatkan,” kataku.
“Tidak.. papa Wan,” sahutnya.
“Wan kamu tidak papa kan ke rumah Mbak dulu. Mandi dulu ya, nanti setelah itu baru kita ke rumah kamu gimana?”
“Terserah Mbak deh,” kataku mengiyakan.
Kami tiba di rumahnya di salah satu kawasan pemukiman elit yang terkenal. Wah ternyata rumahnya cukup besar dan asri.
“Masuk Wan!”
“Makasih Mbak.”
.”Wan kamu mandi dulu ya,” katanya sambil menunjukkan kamar mandi.
“Nanti Mbak siapkan pakaian untukmu, kan baju sama celana kamu basah, biar di cuci di sini saja, Mbak juga mau mandi dulu.”
Kulepas semua pakaian sehingga sekarang aku sudah telanjang dan siap untuk mandi. Iseng aku mengingat Mbak Conny yang aduhai tanpa sadar “si Jonny” tiba-tiba mengeras. Aku membayangkan jika Mbak Conny mengatakan, “Wan, maukah menyenangkan Mbak?” Kurasakan “si Jonny” semakin keras seiring imajinasiku tentang Mbak Conny seorang janda cantik, kulit putihnya yang halus mulus tanpa cacat, dua gunung kembarnya yang ukuran 34 dan pantatnya yang besar.
Kukocok-kocok batang kemaluanku, sementara khayalanku dengan Mbak Conny semakin menjadi-jadi, dan tiba-tiba “Cklok…” pintu dibuka, aku terkejut tanpa bisa berbuat apa-apa. Tadi aku lupa mengunci pintu kamar mandi, ternyata Mbak Conny sudah berdiri di hadapanku.
“Maaf Wan, aku lupa ngasih handuk ke kamu.”
“Oh iya Mbak,” kataku.
Mbak Conny tidak langsung pergi ia tertegun melihatku telanjang bulat dan sekilas kulihat ia melirik batang kemaluanku yang dari tadi sudah tegang. “Mbak mau mandi berdua denganku?” tanyaku asal. Mbak Conny tidak menolak dan juga tidak mengiyakan, naluri kelelakianku mulai jalan,
kutarik lembut tangannya ke dalam dan kukunci pintu kamar mandi, tanpa menunggu reaksinya lebih lanjut kusentuh wajahnya dengan lembut, “Mbak cantik sekali,” aku mulai melancarkan rayuan, “Masa sih Wan, Mbak kan sudah 30 lebih, kamu bisa saja.”
Kucium pipinya dengan lembut lalu bergeser ke bibirnya yang seksi. “Wan!” keluhnya lirih, “Mbak saya sangat mengagumi Mbak,” bisikku lembut di telinganya, sambil kuletakkan tanganku melingkari lehernya. Kembali kukecup lembut bibirnya, kali ini dia membalas dengan hangat, beberapa saat adegan cium itu berlangsung, tanganku mulai “bergerilya”,
kuusap punggungnya, terus turun ke bawah, ke bagian pantatnya, kurasakan bongkahannya masih sangat padat, kuremas-remas dengan lembut. Kali ini ia yang melingkarkan tangannya ke pinggangku, semakin erat, kurasakan gunung kembarnya menggencet dadaku kenyal dan lembut kurasakan.
Kami semakin bernafsu, batang kemaluan yang sudah dari tadi tegang tambah kurasakan berdenyut-denyut. Kurasakan aku semakin terangsang, segera saja kubuka baju mandi Mbak Conny si janda cantik. Terlihatlah pemandangan yang sangat indah, aku terdiam sejenak mengagumi keindahan tersebut, kulihat payudaranya yang besar dan masih kencang.
Kutelusuri semua bagian tubuhnya tanpa ada bagian yang terlewatkan, sampai pada “area kenikmatan” Mbak Conny. Aku semakin terangsang karena pussy Mbak Conny mulus tanpa ditumbuhi bulu sedikitpun.
Kali ini langsung kuserbu payudaranya, kuraba-raba sambil terus kissing sambil sesekali terdengar rintihannya, “Ohhh… Wan mhmmm…” kujilati kupingnya terus menjalar ke leher, dada, dan sampai ke payudaranya, kujilat, kumainkan putingnya dengan lidahku, aku semakin bernafsu.
“Waaan, ohhh…”
“Hmmm, Mbak… Mbak cantik sekali.”
Kali ini tangannya mulai kurasakan lebih aktif, dirabanya punggungku turus turun ke pantatku kemudian ke depan mencoba meraih batang kemaluanku dipegangnya dengan lembut, dikocoknya pelan-pelan sambil berkata, “Wan, punyamu lumayan besar juga. Mbak mau merasakannya Wan… ohhh,” kembali erangannya terdengar karena aku masih sibuk memainkan pentil payudaranya dengan ujung lidahku.
Mulai bosan dengan payudara, kuangkat badannya, kududukkan ke pinggir bak air. Kembali aku menjilati perutnya, kukukek-kucek liang pusatnya masih dengan ujung lidahku, terdengar kembali erangannya lebih keras, “Ooouhhh… hmmm… ahhh…” mungkin Mbak Conny sudah terangsang hebat. Keadaan ini tidak kubiarkan langsung kuarahkan lidah ku ke arah belahan pussy tanpa bulu yang indah sekali, tercium olehku bau khas kewanitaannya.
Aku semakin bernafsu kujilati pussy Mbak Conny yang sudah mulai basah dengan lendir kumainkan ujung lidahku menelusuri setiap millimeter dari “benda enak gila” itu. Tubuh Mbak Conny si janda cantik semakin terguncang hebat menikmati permainan lidahku, nafasnya memburu, sudah tidak beraturan lagi sambil terus mengerang, “Oouuussshhh aaahhh,” merintih tidak karuan keenakan.
Ujung lidahku masih menempel pada benda enak milik Mbak Conny kali ini bagian terakhir yang akan kugarap. Benda sebesar biji kacang yang terletak di atas lubang pussy-nya. Hoooaah, hmmm hhhh ooouuhhh, Wan terus sayang terus… terus… Ouuhh uuhhh terus…” Kali ini Mbak Conny pasti hampir mencapai puncak gunung kenikmatannya, dan aku terus saja memainkan lidahku dengan ganas di liang pussy-nya yang semakin banjir oleh cairan kewanitaannya yang nikmat di lidahku.
Sampai suatu saat ia menjabak rambutku, dan menekan kepalaku ke selangkangannya seakan-akan jangan sampai lepas. “Ooouuhn mmm ohhh.. ohhh, Wan terus Wan… Mbak mau keluarrhh…” sampai suatu sentakan hebat akibat kontraksi otot-otot badannya yang menegang. “Waaan Mbak keluaaar hhh…”
Beberapa saat badannya masih tersengal-sengal, sambil berkata padaku,
“Wan makasih, kamu hebat, Mbak sudah lama tidak merasakannya sejak suami Mbak meninggal.” “Sama-sama Mbak, saya juga sangat menikmatinya, saya suka sama Mbak,” ujarku.
“Kali ini giliran kamu ya, Wan. Sekarang kamu duduk di pinggir sini,” katanya.
Di kecupnya bibirku, dilumatnya, lidahnya sengaja dimasukkannya menjalari seluruh rongga mulutku sambil sesekali menghisap lidahku, kali ini aku sedikit tidak menguasai keadaan, tangan Mbak Conny masih terus memegang batang kemaluanku sambil terus mengocoknya,
“Ooohhh…” kali ini aku yang dibuatnya mengeluarkan suara keenakan.
Ah, lidahnya sudah hampir di puting susuku, dimainkannya lidahnya yang membuat sensasi tersendiri. “Aahhh… enak gila,” sambil terus mengocok batang kemaluanku. Mbak Conny si janda cantik terus menjilati bagian tubuhku sampai akhirnya dia menjilati kepala kemaluan.
Dia terus memainkan lidahnya menjilati, kepalanya, batangnya, biji kemaluan tidak luput dari sasaran lidahnya. “Ahhh, Mbak… enak Mbak ahhh…” Mendengar rintihanku dia memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya, “Ooh… terus Mbak…” pintaku.
Turun-naik kepalanya mengisap batang kemaluanku sampai keadaan dimana aku merasakan kejang dan batang kemalaunku berdenyut-denyut sangat hebat, “Ooohhh… ohhh… aku hampir keluar Mbak…” Semakin ganas kepalanya turun-naik, semakin mempercepat kocokan dan sedotannya dan… “Crooot… crooot… croot…” batang kemaluanku memuntahkan sperma ke dalam mulut Mbak Conny dan dengan bernafsu ditelannya sperma tersebut dan sisanya dijilatnya sampai bersih.
“Makasih Mbak,” kataku.
“Sama-sama Wan,” katanya dengan lembut.
“Oke sekarang kita mandi dulu biar segar dan kita ulangi lagi nanti ya di kamar.”
Aku masih mengenakan handuk yang dililitkan ketika Mbak Conny datang membawa segelas susu coklat hangat dan memberikannya kepadaku.
“Minum dulu sayang, biar tambah segar.”
Kuseruput coklat hangat, “Aaahhh…” kurasakan kehangatan menjalari tubuhku dan kurasakan kesegaran kembali.
Kami berciuman kembali, Mbak Conny tampak sangat menikmati ciumanku ini, matanya terpejam, nafasnya mendesah, dan bibirnya dengan lembut mengecup sambil sesekali menghisap bibir dan lidahku, jari jemari lentik guruku itu mulai bergerak turun menyusup ke balik handukku menuju buah pantatku.
Batang kemaluanku yang hanya ditutupi handuk kecil itu segera berdiri tegang. Bagian bawah kepala kemaluanku itupun langsung tergencet oleh perut Mbak Conny si janda cantik yang langsung menyalurkan getaran-getaran kenikmatan ke seluruh urat syarafku.
Jari-jemarinya mulai meraba kedua buah pantatku. Mula-mula rabaannya melingkar perlahan, makin cepat, makin cepat, sampai akhirnya dengan suara mendesah, diremas-remasnya dengan penuh nafsu. Aku mencium dan menjilati telinga Mbak Conny, sehingga membuat tubuh janda cantik itu menggelinjang-gelinjang, “Ohhh Wan… gelii… sss…” Kuturunkan bibirku dari kuping menelusuri leher, terus turun ke dada, jari jemarinya pun terasa semakin keras meremas-remas pantatku.
Seraya mengecupi areal dadanya, jemariku membuka satu persatu kancing seragam kebanggaannya itu hingga terlihat belahan payudaranya yang besar menyembul dari balik baju mandinya. Bentuknya menghadap ke atas dengan puting yang langsung mengarah ke mukaku.
Amboi seksinya, tanpa membuang waktu kulahap payudara itu dengan gemas. Kusedot-sedot dan kujilati putingnya yang sudah menegang itu. Tiba-tiba tangan kanan Mbak Conny berputar ke arah depan. Dengan sekali sentak maka terjatuhlah penutup satu-satunya tubuhku itu.
Kulirik kaca lemarinya, di sana terlihat badan tegapku yang bugil tengah menunduk menghisap payudara wanita berbadan montok yang masih dibalut pakaian mandinya. Dari kaca riasnya kulihat Mbak Conny mengalihkan tangan kanannya ke arah selangkanganku dan… “Slepp!” dalam sekejap batang kemaluanku sudah berada dalam genggamannya.
Dengan lembut dan penuh perasaan ia mulai mengocok batang kemaluanku ke atas.. ke bawah.. ke atas.. ke bawah. Uff… tak bisa kuceritakan nikmat yang kurasakan di selangkanganku itu. Apalagi ketika sesekali ia menghentikan kocokannya dan mengarahkan jempolnya ke urat yang terletak di bawah kepala batang kemaluanku.
“Aaahhh… Mbaak… aaahh…” aku hanya bisa mengerang keenakan seraya terus mengecup dan menjilati payudaranya. Tiba-tiba Mbak Conny mendorong tubuhku hingga terduduk di atas ranjang busanya dan ia sendiri kemudian berlutut dihadapan selangkanganku. Ia menengadahkan kepalanya dan menatap mataku dengan pandangan penuh nafsu.
Bersamaan dengan itu, ia menciumi kepala batang kemaluanku, kemudian menjilati lubang penisku yang sudah dipenuhi dengan cairan lengket berwarna bening. Tiba-tiba ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan apa yang kurasakan berikutnya adalah kenikmatan yang tak terlukiskan.
Mbak Conny memasukkan dan mengeluarkan penisku di dalam mulutnya dengan gerakan yang cepat sambil menggoyang-goyangkan lidahnya sehingga menggesek urat bawah kepala penisku itu. “Aaahhh… ouuhhh… Mbak! aakh… ouhhh…” aku hanya bisa terduduk sambil mengerang nikmat dan Mbak Conny si janda cantik tampak begitu menikmati kemaluanku yang berada di dalam mulutnya, sampai-sampai ia memejamkan matanya.
Tangan kiriku kembali meremas-remas payudara Mbak Conny sedangkan tangan kananku menyentuh bagian bawah buah pantatnya. “Mmmh.. mmmhh…emmhhh…” rintihnya sambil terus mengulum batang kemaluanku ketika kuraba-raba lubang kemaluannya. Mbak
Conny semakin memperkuat sedotannya sehingga memaksaku untuk semakin mengerang tak keruan, seakan tak mau kalah, kumasukkan tanganku ke selangkangannya dari arah perut, dan dengan mudah jemariku mencapai vagina yang sudah sangat basah itu.
Dalam 3 detik jariku menyentuh sebuah daging sebesar kacang yang sudah menonjol keluar di bagian atas vagina Mbak Conny, jari tengah dan telunjukku segera mengocok “kacangnya” dengan cepat. “Mmmhh.. mmmhhh… aaahhh…” Mbak Conny melepaskan penisku dari mulutnya untuk berteriak histeris menikmati kocokanku di klitorisnya.
Sekitar 5 menit kami saling mengocok, meremas, dan menghisap diikuti dengan gelinjangan dan jeritan-jeritan histeris, ketika tiba-tiba Mbak Conny menengadahkan mukanya ke arahku dan merintih, “Wan.. please sekarang…” Tanpa menunggu kata-kata selanjutnya kuangkat tubuh janda cantik itu dari posisi berlututnya. Kusuruh dia meletakkan kedua tangannya di atas meja menghadap cermin rias sehingga Mbak Conny kini berada dalam posisi menungging.
Tampak buah dadanya bergelayut seakan menantang untuk diperah. Kurenggangkan kedua kaki mulusnya, kugosok-gosokkan penisku di belahan pantatnya sebelum kuturunkan menelusuri tulang ekornya, anus dan kutempelkan di pintu belakang vaginanya.
Perlahan-lahan kusodokkan penisku ke dalam vagina kecil yang sudah sangat banjir itu, “Aaahhh…” Mbak Conny menggigit bibirnya menikmati senti demi senti penisku yang tengah memasuki vaginanya, semakin dalam kumasukkan batang kemaluanku dan semakin dalam…
“Ooohhh Wan… ooohhh…” dan… “Aaaakhh…” jeritnya ketika dengan keras kusodokkan penisku sedalam-dalamnya di vagina janda cantik itu. Tampak janda cantik itu masih menggigit bibirnya menikmati besarnya batang kemaluanku yang terbenam penuh di dalam vaginanya.
Dengan segera kupompakan kemaluanku dengan cepat dari arah belakang. Kutempelkan perut dan dadaku di punggung perempuan itu dan kedua tanganku dengan keras meremas-remas dan memelintir kedua puting buah dada Mbak Conny yang sudah sangat keras itu.
“Ohhh… ohh… ouuhhh…” Tiba-tiba Mbak Conny mengangkat kepala dan badannya ke arahku dengan menengok ke arah kiri dan menjulurkan lidahnya. Dengan cepat kusambut lidah yang menggairahkan itu dengan lidahku dan kami pun berciuman dengan posisi Mbak Conny yang tetap membelakangiku. Karena ia menegakkan badannya, Mbak Conny menaikkan kaki kirinya ke atas meja riasnya untuk memudahkan aku terus menyodokkan batang kemaluanku.
Sambil terus melumat bibirnya dan menyodok, tanganku kembali meremas-remas kedua payudaranya. Tangan kiri Mbak Conny menjambak rambut di belakang kepalaku untuk mempererat tautan bibir kami. Ketiaknya menyebarkan wangi khas yang membuatku semakin bernafsu lagi. Tiba-tiba Mbak Conny merintih-rintih sambil terus mengulum lidahku.
Tampak alisnya mengerut, wajahnya mengekspresikan seakan-akan kenikmatan yang amat sangat menjalari seluruh tubuhnya, ia dengan cepat membimbing tangan kananku yang masih asyik meremas payudaranya untuk kembali memainkan kacangnya. Goyangan pinggulnya menjadi semakin cepat tak terkendali, dinding vagina mulai terasa berdenyut-denyut, tiba-tiba… “Aaahhh aaahhh oouuhhh… Wan… Mbak keluaaarrr… aaahhh…”
Malam itu beberapa kali aku dan Mbak Conny mengulangi “gulat gaya bebas” itu sampai akhirnya kami sama-sama tertidur kecapaian. Aku segera terbangun ketika menyadari ada seberkas sinar yang menerpa wajahku. Aku segera menyadari bahwa aku berada di rumah Mbak Conny.
Dan ia sudah bangun dan tidak berada di kamar ini lagi, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 10.00 dan lagi-lagi… oh shiit, aku terlambat masuk kantor. Sial, lagi-lagi sial.